• Pencarian

    Copyright © sniper86.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Menilik Prosesi Adat di Aceh Tenggara Saat Mengkhitankan Anak

    Sabtu, 06 Juli 2024, 1:51:00 AM WIB Last Updated 2024-07-05T18:52:14Z

    SNIPER86.COM, Agara - Sebelum dikhitan saat anak mencapai usia tersebut, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi fisik dan kesehatan, setiap keluarga yang ingin menyenat (mengkhitan) anaknya haruslah mengikuti prosesi adat yang begitu unik dan menarik. 


    Pertama, pihak keluarga (ayah dan ibu) menyampaikan niat pesenatken kepada paman (adik laki-laki dari pihak ibu) yang disebut dengan tebekhas. Nah, saat penyampaian niat tersebut, pihak orang tua datang ke rumah paman sambil membawa luah (bekal) untuk dimakan bersama-sama (kenduri) dengan tokoh di kute (desa) tempat paman tinggal.


    Bukan hal yang asing di Aceh Tenggara (Agara) ketika melibatkan paman sebagai orang terpenting dalam ritual adat tertentu. Fenomena ini menunjukkan makna, bahwa karakter hidup masyarakat Agara selalu mengutamakan gotong royang dan berdampingan, khususnya dalam lingkup kerabat dekat. Kedudukan paman sangat penting dan dihormati, tradisi ini mengajarkan pentingnya membina silaturahmi dengan keluarga paman, sebab ia akan menjadi perwakilan ayah jika sudah tiada.


    Selanjutnya, setelah menyepakati hari dan tanggal pesenatken, maka keesokan harinya ataupun beberapa hari setelah itu, pihak keluarga mem-bagahi (mengundang) keluarga sanak saudara, baik jauh maupun dekat untuk hadir di acara pesenatken nantinya. Biasanya, bahagen ini diantar langsung dari pihak keluarga yang menggelar acara. 


    Uniknya, pihak keluarga memberi undangan tersebut bukan berbentuk surat atau kartu undangan, melainkan berupa daun sirih yang terdapat kapur, pinang, dan kacu di dalamnya. Jika tamu yang diundang memakan daun sirih, maka sudah dipastikan ia akan berusaha datang ke acara khitanan tersebut.


    Dalam perjalanannya, sebelum hari pokok khitanan digelar, ada lagi prosesi yang tak boleh ditinggalkan, yaitu prosesi jagai. Ini merupakan agenda adat berupa memberi doa kepada orang yang akan dikhitan. Acara tersebut digandrungi oleh masyarakat kampung setempat. 


    Biasanya, jagai dilaksanakan beberapa varian, antara tiga, empat, sampai tujuh malam berturut-turut, tergantung pada kemampuan paman atau pihak keluarga. Mayoritas masyarakat di Agara hanya melakukannya tiga malam saja.


    Pada prosesi jagai ini, anak yang akan dikhitan duduk di depan pintu memakai kain adat khas Alas. Di hadapannya disediakan air, beras, dan dedaunan khusus untuk pangekhi (peusijuek) ke badan anak yang akan dikhitan. 


    Setelah itu barulah orang-orang kampung duduk dan menikmati hidangan yang telah disediakan pihak keluarga sebagai rasa terima kasih karena telah turut mendoakan. Prosesi ini bertujuan, agar acara puncak nantinya berjalan lancar, terutama anak yang akan dikhitan agar tidak takut ataupun dijauhkan dari hal-hal yang buruk.


    Setelah prosesi ini selesai, dilanjutkan dengan pemamanen pada hari yang telah ditentukan. Pemamanen adalah kunjungan keluarga secara berkelompok berdasarkan undangan yang diberikan. Biasanya, pihak paman dan keluarga dekat lainnya datang dari kampung yang berbeda-beda membawa peulawat (uang) serta bawaan lainnya seperti tebu, bebek, ayam, dan kado.


    Diarak naik kuda


    Biasanya pihak pemamanen datang mulai pukul 10.00 hingga 14.00 Wib, atau bertepatan dengan ba'da zuhur. Saat datang ke rumah yang dituju, biasanya pihak acara menyambut tamu undangan sambil mempersilakan duduk di tikar dengan hidangkan makanan yang telah disediakan.


    Sorenya, pada prosesi pemamanen ini, anak yang akan dikhitan biasanya diarak naik kuda oleh orang kampung sebagai prosesi sebelum dikhitan bersama dengan keluarga lainnya. Adapun jumlah kudanya, tergantung yang disediakan oleh pihak paman sendiri. 


    Naik kuda ini menjadi informasi tersendiri bagi masyarakat kampung, bahwa akan ada anak yang dikhitan pada hari itu. Uniknya, pada saat arak-arakan kuda melintasi kampung yang dituju, masyarakat sekitar akan berdiri untuk melihat sekaligus menghormati prosesi adat tersebut.


    Tak sampai di sini saja, setelah agenda arak-arakan selesai, ada lagi prosesi terakhir sebelum khitan dilangsungkan, yaitu pembersihan diri oleh anak yang akan dikhitan. Prosesi ini pun sangat unik, anak yang dikhitan tersebut dibawa ke tempat wisata yang dia minta. Anak diberi kesempatan untuk mandi sambil bersabun dan bermain-main dengan temannya.


    Selesai dari pemandian, tibalah puncak acara, yaitu pesenatken (khitanan) yang ditunggu-tunggu. Biasanya, pesenatken ini dilakukan pada sore hari menjelang magrib, sekitar pukul 17.30 atau pukul 18.00 sore. Ketika prosesi khitanan berlangsung, ada juga agenda ‘cekheme’, yaitu prosesi perendaman tangan sang anak ke dalam air. Ini dilakukan agar anak yang dikhitan nantinya akan merasa lebih tenang dan tidak merasa sakit.  


    Biasanya, prosesi ini dilakukan oleh kaum ibu, yaitu mamak dan eda (istri dari abang ipar) ataupun puhun (istri dari adik dari ibu) secara suka cita sambil memakai pakaian adat Alas itu sendiri.


    Begitulah uniknya prosesi pesenatken suku Alas di Agara, yang perlu dilestarikan sebagai kekhasan tersendiri. Ritual ini dilakukan bukan sebatas formalitas adat belaka, lebih dari itu, ada pesan moral dari setiap prosesi yang digelar jika dilakukan sepenuh hati. Selain itu, tradisi ini juga akan menjadi warisan bagi generasi selanjutnya untuk tetap survive di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan gencarnya budaya asing merongrong negeri.


    Maka dari itu, perlu kerja keras antara semua pihak, khususnya pemerintah melalui majelis adat dan masyarakat. Semuanya harus seiring seirama, bahu-membahu memperkenalkan identitas budaya yang indah ini ke generasi milenial. 


    Pemerintah bisa menjadikan ritual khitanan, perkawinan, atau secara adat Alas sebagai mata pelajaran khusus di jenjang pendidikan yang ada. Upaya pelestarian adat juga bisa dilakukan dengan menggelar berbagai event perlombaan. 


    Pada pentas seni kebudayaan alas misalnya, bukan hanya sebatas kontestasi tarian saja, tapi juga bisa menambahkan agenda kreatif lainnya. Semua ini bertujuan agar kearifan lokal Agara tetap terjaga dan tak hilang di gerus zaman. Semoga dengan ini Agara bisa menjadi salah satu kabupaten model (panutan) bagi perkembangan pusat seni dan budaya yang ada di Aceh.*(Dalisi)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini